“Kemana jiwa keislaman IAIN selama ini?”
Oleh : Ikhwani Mufidhah , Mahasiswi BKI IAIN Surakarta
Meskipun pada awalnya kacamata modern sulit mendefinisikan IAIN, apakah termasuk lembaga yang berkecimpung di dunia dakwah, politik, atau kebudayaan, tetapi keberadaannya tidaklah statis. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, yang mana telah berperan dalam pencapaian pembangunan negara Indonesia, maka begitu diperlukan adanya lembaga yang mendidik dan mencetak kader-kader pencerah ummat, keberadaan IAIN Surakarta inilah menjadi salah satu ‘penolong’ terutama bagi masyarakat-masyarakat muslim se-Solo raya yang haus akan hal yang berbau keagamaan, dengan berkuliah di IAIN Surakarta terdapat harapan mendapat bekal yang mumpuni dalam bidang agama, dan bisa di tularkan ketika nanti terjun ke lapangan masyarakat yang sebenarnya.
Permasalahan dunia kampus seakan tidak pernah habis dan akan selalu menarik untuk dibahas. Tidak hanya masalah akademik saja, tetapi juga masalah dunia luar: organisasi, pergaulan, tempat tinggal, keagamaan, dsb. Hal-hal yang begitu sensitif dalam dunia luar adalah tentang keagamaan, hal krusial yang patut dan harus dibahas karena kampus IAIN Surakarta sendiri menyandang gelar Islam yang tanpa disadari mempunyai peran dalam menuansakan “Islam” ditengah masyarakat yang mempunyai kontek sosial Indonesia yang berbeda. Takdir masyarakat muslim di Indonesia hidup di tengah tengah masyarakat yang sangat plural, baik dari segi agama dan juga etnis. Bukan hanya itu saja, umat Muslim Indonesia juga ditakdirkan untuk hidup dengan beragama sekte atau madzhab keislaman. Sehingga tidak mudah untuk menyatukan umat Islam ke dalam satu wadah, dengan begini peran IAIN Surakarta patut disaksikan bersama-sama.
Secara sosiologis pun bisa kita lihat bahwa kesadaran umat Islam untuk melaksanakan agamanya juga semakin tinggi. Fenomena Jilbab yang muncul saat ini bisa dilihat. Dulu Jilbab hanya dipakai dalam forum keagamaan saja, sekarang di ruang ruang public seperti mal, tempat rekreasi dan tempat olah raga juga terlihat. Munculnya pengajian dan sholat sholat berjamaah di perkantoran dan hotel di kota kota besar juga dapat dijadikan indikasi tumbuh kembangnya keagamaan umat Islam Indonesia. Kuliner halal, pariwisata halal, berduyun duyun berangkat umrah, dan sebagainya.
Ada peningkatan keberagamaan umat Islam Indonesia. Dengan adanya fenomena tersebut, pernahkan IAIN Surakarta turun aksi dengan kata lain memerankan perannya dalam mengembangkan keagamaan ummat Islam? Hal tersebut patut dipertanyakan, isu-isu yang dapat kita dengar IAIN Surakarta akan menaiki tingkat menjadi UIN, entah ditahun berapa. Dengan berbagai ragam model beragama yang patut dibahas dan salah satunya tentang talkshow dan bedah buku Islam Tuhan, Islam Manusia karya Haidar Bagir, yang dianggap tokoh Syi’ah oleh DSKS dan ANNAS Solo Raya, mungkin dosen dan para akademisi bungkam dalam hal ini, bungkam dalam kata lain tidak peduli bagaimana sikap masyarakat terdekatnya kampus, dan lihatlah para masyarakat sekitar, malam sebelum hari H, kampus sudah dijaga oleh pihak aparatur guna mengamankan bedah buku dan mengantisipasi adanya pendemo, ada dua warga yang bertanya “mengapa mahasiswa-mahasiswi besuk(saat acara bedah buku) akan demo? Dan “siapa sebenarnya yang syi’ah?”
Disinilah hal yang mengecewakan, hal yang miris, apakah kampus tidak mempunyai peran “bersosialisasi” dengan warga sekitar, memberikan info tentang adanya demo tersebut, padahal info bedah buku dan aksi demo tersebut sudah beredar sejak jauh-jauh hari, ataukah warga sekitar yang tidak peduli dengan keadaan kampus? Siapa yang patut di salahkan? Syi’ah, Sunni, adalah salah satu rumpun dari ilmu agama, nah apakah tak ada kebijakan dari kampus untuk ngobrol dengan warga sekitar mengenai hal ini, toh dosen-dosen dan jajarannya mumpuni dalam ilmu keagamaannya. Ya, mungkin warga internal kampus saat itu sedang kebingungan dan disibukkan dengan berita yang beredar saat itu hingga lupa dengan keadaan sekitar kampus mereka.
Dengan begini ditakutkan berdirinya kampus IAIN Surakarta yang sudah tidak muda lagi ini kehilangan roh nya sebagai kampus yang bernuansakan agama nya, yang seharusnya menjadi penerang bagi mahasiswa-mahasiswi, dosen, karyawan, rektor, masyarakat sekitar, dan sebagainya.
Hasil obrolan dengan Ibu Citra Dian salah satu penduduk Perum Griya Kencana Asri yang sudah berdomisili sekitar delapan tahun, beliau menyatakan bahwa beliau tidak tahu atau tidak pernah melihat IAIN Surakarta mengadakan acara-acara besar yang berbau keagamaan selama delapan tahun ini, untuk yang berkaitan dengan keagamaan beliau hanya melihat beberapa mahasiswi yang mengajar di TPQ. Tapi diakhir obrolan, beliau mengatakan bahwa IAIN Surakarta pernah mengadakan acara yang entah berbau agama atau tidak, yang beliau merasa ketakutan saat diadakannya bedah buku salah satu karya Haidar Bagir tersebut.
Kemudian narasumber yang kedua, Bapak Triyono seorang pedagang sayuran di dekat kampus PPG penduduk asli Pucangan, rumah beliau di sekitar area masjid Al-Fattah, berbicara tentang kontribusi dalam keberagamaan Islam, beliau menyatakan IAIN Surakarta pernah mengadakan acara besar yang mengajak masyarakat sekitar turut ambil andil dalam acara tersebut, bisa dan boleh menyaksikan, yaitu pengajian Cak Nun di tahun 2016 lalu, bayangkan saja beliau berdomisili di Pucangan sudah berpuluh tahun, dan beliau hanya menyaksikan 1 acara saja yang diadakan oleh IAIN Surakarta, itupun beliau tidak mengikuti.
Narasumber yang ketiga, Ibu Sumarsi seorang yang pernah mengenyam pendidikan D3 ke S1 di IAIN Surakarta yang dulu masih bernama STAIN Surakarta selama dua tahun, beliau tidak pernah mengetahui IAIN Surakarta berkontribusi dalam keberagamaan untuk masyarakat muslim di sekitarnya, beliau mengatakan bahwa” Setau saya IAIN belum pernah mengadakan acara-acara besar yang bersangkutan dengan hal keagamaan”, hal tersebut bisa dimaklumi karena Ibu Sumarsi saat berkuliah di IAIN hanya saat hari Sabtu, dan Minggu, dengan begitu mungkin tidak adanya keterbatasan keakrabannya dengan kampus.
Jika para mahasiswa, para dosen, hingga rektor bersaing secara pasti, bergelut dengan berbagai macam buku untuk menaikkan derajat keintektualitasannya, disibukkan dengan UKM atau organisasi yang dibanggakannya, sibuk presentasi dan pembuatan makalah di ruang kelas-kelas. Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Didiklah rakyat dengan organisasi, didiklah penguasa dengan perlawanan”. Apakah kita hanya mandeg dalam kata “organisasi” saja? Hingga kita melupakan peran penting mengupayakan perealisasian dari kegiatan organisasi atau perkumpulan tersebut untuk masyarakat, apakah kita sudah lupa? Dalam keberlangsungan hidup tiap hari mahasiswa-mahasiswi di area kampus pun tak lepas dari peran masyarakat sekitarnya, dengan begini apakah tidak ada tekad yang bersinergi untuk bercengkrama bersama-sama dalam menghadapi dan menyikapi keberagaman dalam keberagamaan ummat Islam saat ini yang mewabah kemana-kemana.
Tidak adanya kegiatan-kegiatan dalam pengembangan masyarakat muslim untuk masyarakat sekitar kampus perlu dan harus digagas bersama-sama oleh kaum Intektual berwarga IAIN Surakarta, jika saat IAIN saja belum mampu memberikan keteduhan keilmuan untuk masyarakat sekitar, bagaimana jika saat menyandang UIN yang citranya sudah the best menurut kalangan orang banyak.
Sangat kasihan dan tidak patut untuk dirasakan jika kampus yang berdiri kokoh lumayan megah tersebut mampu menciptakan mahasiswa-mahasiswi yang sukses di kota-kota besar dalam berdakwah, mampu berdakwah di luar daerah secara gamblang dan memintarkan orang banyak tetapi masyarakat disekitar kampus mereka haus dan kekeringan ilmu keagamaan yang mereka dambakan ketika mereka bertetangga dengan kampus bercirikan keislamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sunanto, Musyrifah. 2012.Sejarah peradaban Islam Indonesia.Jakarta: Rajawali pers.
Wawancara:
Narasumber : Ibu Citra Dian, Ibu rumah tangga, warga Perum Griya Kencana Asri, 12 Juni 2017
Narasumber : Bapak Triyono, Pedagang, warga Pucangan, 19 Juni 2017
Narasumber : Ibu Sumarsi, Guru, warga Wonogiri, 3 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar