KETAKUTAN YANG MENYERTAI

Semenjak 26 Mei 2022 hingga 5 Juni 2022, tepat saat menulis ini, banyak perasaan yang masih sulit terdefinisi.


Yang bisa aku perkirakan hanyalah rasa sesak, sakit, dan juga menyayat.

Teman-teman, jika sekiranya ada yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menemukan tulisanku ini, barangkali aku boleh merepotkan sebentar?


jika berkenan duduklah sebentar dan bolehlah untuk membaca ini hingga akhir? anggaplah aku sedang bercerita padamu. 

----

Aku merasa sungguh sangat sangat sumpeg. Kebak. 

Semenjak tanggal 27 Mei 2022 Buya Syafii sedo, atiku mawut. Aku merasakan kesedihan yang cukup berat. Betapa kita itu sangat kehilangan tokoh perajut persatuan. Sudah tidak bisa dijelaskan lagi bagaimana sesosok Buya itu, Ia seseorang yang luar biasa, merangkul semua manusia. Aku mengagumi Buya karena Ia hidup dengan "cara sederhananya", Buya yang tidak neko-neko dan tapi piawai dalam hal keilmuan. 


Setelah Buya sedo, saya sangat menunggu update-an warga Yogjo perihal Buya, dan selepas beberapa hari itu akhirnya banyak sekali yang mengabarkan di media sosial. Ada Mbak Mufliha Fahmi, Dokter Alim, Mas Erik Tauvani, dll. 


Menurut cerita dari Mas Erik Tauvani, orang yang membantu keseharian Buya, katanya, beberapa waktu sebelum meninggal, Buya sempat berkata,"Ya Allah, jika saya masih bisa bermanfaat untuk orang lain, panjangkan usia. Tapi jika sekiranya sudah selesai, saya pasrah, semoga masuk dalam golongan orang-orang yang baik."


YaAllah... siapa yang tidak menangis membaca itu. Buya mencerminkan orang yang sudah merindukan alam akhirat. 

Kemudian, saya juga membaca fakta-fakta seputar Buya juga yang ditulis oleh Dokter Alim, perihal Buya yang selalu mencuci dan menyetrika baju sendiri, Buya yang berbelanja sayuran ke warung, Buya yang selalu salat di Masjid, Buya menyekolahkan banyak anak, Buya merespon yang nyinyir padanya, Buya dan rasa welas asihnya dan masih banyak lagiiiii. Hingga kini... Dokter Alim masih menuliskannya, dan saya tak henti-hentinya menangis, nyeseg, sekaligus kagum. YaAllah Buya...

Saya masih ingat, dulu temanku ada yang nyinyir terhadap Buya, katanya Buya liberal, Buya tidak mencerminkan orang Muhammadiyah, dsb. Nyinyir itu sampai di telingaku, saya gondok ati, pengin tak krawus. Tapi saya tahan. Saya cuma diam. Saya cuma mbatin, apa dia tidak takut kuwalat?? YaAllah, Buya.. semoga nJenengan memaafkan teman saya, dan orang-orang di luaran sana yang sering mencaci nJenengan. Dan saya serasa, sebelum cacian itu dilontarkan, sepertinya Buya lebih dulu dengan kelonggaran hati sudah memaafkan.


Di hari-hari itu aku begitu murung, aku menangisi banyak orang. Menangisi Mbah Nun yang baru saja berumur 69 tahun, menangisi simbah-simbahku, menangisi Buya Syafii, menangisi Yai Muzammil yang dulunya juga sedo di tanggal 27 Mei, dan juga menangisi Bapak Ibuku. Dan tentu menangisi diriku yang bobrok ini. Sebagaimana waktu yang tidak dapat dihentikan, begitu pula usia yang kian menua tidak dapat dicegah.


Lagi dan lagi, setelah itu aku juga mendapat kabar keluarganya dari teman-temanku ada yang meninggal. Aku sedih. Bener-bener sedih. 


Dari sini, aku mulai menyalahkan diriku sendiri, lagi lagi aku merasa Gusti Allah sangat pilih kasih. Aku merasa Gusti Allah memberikan satu porsi yang lebih padaku. Yakni, porsi "ngrasakne".


Atiku sangat ciyut jika ada kabar yang tidak mengenakkan, atiku sangat payah jika aku mendengar kabar orang sakit, atiku sangat bundet ketika ada yang mengeluh padaku, atiku melu ngrasakne jika ada orang yang kehilangan sesuatu, apalagi ini. Perihal kematian. 


Aduh, aku bisa nangis mingsek-mingsek yang sulit bisa untuk terbendung perihal seperti ini. 


---

Hari Selasa, 31 Mei 2022 sore aku sengaja pulang. Mencari suasana ketenangan batin. Benar saja, malam hari ketika sampai di Baturetno disambut hujan deras. Mampir warung untuk berteduh, dan mengisi perut. Gorengan, sega gudangan, sambel bawang, iwak pindang dan segelas es teh. Hadeh. Cukup membuat wareg! kemudian saya melamun nyawang rintik hujan yang saling berlomba jatuh ke bumi itu. Ngayemne ati.


Ketika di rumah, aku berusaha menenangkan hatiku, ya bagaimana nggak berusaha menenangkan, wong saya berhari-hari dipenuhi momok yang menyakitkan, yakni tentang "kematian". Yakin, aku takut ini. Aku menangisi banyak orang, aku takut kehilangan, dan aku tak pernah akan merasa siap jika harus kehilangan. 

Saat di rumah saya berusaha mendamaikan itu semua. "tenang... tenang.. Gusti Allah sing paling ngerti." ucapku pada diriku sendiri.


Ketika sedang makan bareng Ibuku, kami membicarakan perihal pernikahan. Cah kae yang sudah menikah, cah kae yang sudah lamaran, dan cah kae kae kae kae yang sudah sudah punya anak. Kami mengobrolkan dengan santai, sesekali aku menertawakan temanku yang sudah punya anak. Padahal di dalam batinku, aku cuma penasaran bagaimana respon Ibuku. Hehe.


Oya, saat di perjalanan pulang itu aku dengan sengaja memutar lagunya Mbah Sujiwo Tejo, yang judulnya Lullaby. Hesjan, tidak usah ditanya aku bagaimana, jelas aku nangis. Ahmbuhya, kenapa aku serapuh ini.


"Anakku.. anakku sing manis, ja pijer nangis.. sun gendhong, sun lelela lela..


Ning pang wit, wiwit bang bang wetan, wis tanpa sela.. saloka unine kepodhang.. nganti dhong wengi.. kuwi ngengudang kowe..


Mbesuk yen wis gedhe, nalikane.. sesandhingan karo kekasihmu~ kekaron sih ngadhep ombaking urip~ aja lali marang, aja lali marang..

Bang bang wetan.. manuke podhang..."


Hessss.. nangessss meneh nangis meneh!! lagu lullaby ini memang punya tempat tersendiri, jeru banget je! 


Ibuku sudah berulangkali berpesan padaku, jika sudah ada laki-laki yang berniat serius padaku, katanya, segera saja. Kata-kata template itu berulang-ulang ia ucapkan ketika aku pulang. Aku cuma mengiyakan.


Dan saat itu, saya menyodorkan pertanyaan padanya, apakah memang sudah siap jika aku menikah? sudah rela? begitu tembakan pertanyaanku. Ia dengan mantap menjawab sudah. Tapi tak berani menatap mata anaknya yang penuh dosa ini. Hehe. 

Ia menjelaskan dengan pelan, mumpung aku masih muda, mumpung Bapak dan Ibu masih ada, ia pengin aku segera menikah. Agar, jarak aku dan anakku kelak tidak terlalu jauh. Ia kasihan padaku, jika nanti aku sudah tua, aku masih punya anak-anak yang belum mentas, seharusnya, masa tua adalah masa 'istirahat', ia mencontohkan Bapakku sendiri, karena Ia menikah di atas umur 30 tahun, dan saat usianya telah senja ini, anak-anaknya masih belum juga ada yang mentas. Ibuku kepingin, aku segera menikah. Ia merasa, aku sudah cukup pantas. Wqwq. Hadeh.


Tapi, iya juga ya. Bapakku saat ini usianya sudah 50 tahun lebih, dan masih punya tiga anak bedes-bedes yang belum mentas semua. Harusnya sekarang Ia sudah ongkang-ongkang, ngopi dan ngudud di depan rumah sambil momong putu. Wqwqwq.

Merespon itu, aku cuma ketawa. Atiku mencolot.

Atiku semedhot, ketakutanku perihal kematian mampir lagi, YaAllah... huft. Semua milik Njenengan dan akan kembali ke Njenengan. Tapi semoga, Bapak Ibuku, njenengan berikan umur yang panjang dan keberkahan. Itu komat-kamitku setiap saat.


Bicara tentang pernikahan itu bagiku masih sangat bruwet. Aku takut jika aku dan pasanganku saling menyakiti, aku takut kelak kami sukar untuk berkompromi, takut kami tak bisa melewati segala macam cobaan, takut aku dan pasanganku tak akan mendapat rezeki, takut aku tak bisa manut dengan pasangan, dan aku paling takut tidak bisa mendidik anak. 


Siksiksiksik, pasangan pasangan ki emang wis ono pasangane? // YOJELAS durung. Wkwkwk.


Aku mudeng sih, ketakutanku semacam itu mungkin wajar, tapi tak kira, ada beberapa part ketakutanku itu semacam nantang Gusti Allah. Koyo-koyo aku ki kok rapercoyo nek Gusti Allah bakal ngejamin uripku selanjutnya ya? ((yoembuh og, kok mandak takon wong liya!)) Oh, oke. 

Sebagaimana ucapnya Mas Sabrang MDP bahwa pernikahan adalah perang panjang, saat ini aku merasa juga tidak bodo-bodo banget, aku ya sinau perihal pernikahan, yo walopun sinaune lewat Kyai Gugel sih wqwq tapi lak yo mendhing kan ya daripada ora? Xixixiiw~ mengangguklah!! 


Ya ketakutanku nggak cuma yang tak paparkan itu tadi, ada banyak hal, yang tidak bisa ditulis di sini. Aku takut banget jika aku menulis terlalu blak-blakan, nanti malaikat nyatet pas aku lagi nyacat wong liya ngunu yo wedhi tho jeeee. Heum.


Yhaaa, aku nggak terlalu terburu-buru perihal pernikahan ini, aku percaya Gusti Allah akan memberikan takdir yang paling baik untukku, entah aku akan ditakdirkan menikah atau tidak. Punya anak atau tidak. Dsb. Aku percaya dan ridho Gusti Allah menyekenario sangat detil dan apik yang manusia kadang sulit untuk menebaknya. 

Intinya, ikhtiarku, aku nggak mau tebar atau menerima tebar kata-kata mbelgedhes rayuan-rayuan gombal amoh seperti cah-cah enom itu. Jijik aku. Tenan. Wes khatam soale. Wkwkwk. Wis cukup, rasanya hal seperti itu sudah sangat patut untuk dihindari. Iku ikhtiarku. Jadi, tak pikir-pikir, mesthi Gusti Allah bakal welas neng Aku, njuk bakal ngirim pasangan neng aku. WKWKWKK hesssjan, uwopoh!


Ah, entahlah. Aku cuma bisa berdoa untuk diberikan keridhoan atas takdir apa saja yang akan aku terima. Perihal rezeki, perihal jodoh, hingga perihal kematian.


---

Ah, yawis. Begitu saja. Aku sudah sedikit lumayan lega. Terima kasih sudah menyimak.


Yang pasti, saat ini, di saat pikiranku sudah kembali agak jejeg lagi, tidak terlalu sumpeg lagi, aku berharap semoga aku, kamu, dan siapa saja yang tengah dihimpit rasa kehilangan, rasa kesendirian, dan entah rasa apa saja yang sulit didefinisikan. Semoga kita bisa melewati.

Kita ini milikNya dan akan kembali padaNya.

Ya Qorib.. qoribna kulla ba'id..

Allahummahfadhna Ya Hafidz..

Allahummarzuqna Ya Rozzaq..

Allahummahdina Ya Hadii...


Ya Latif.. Ya Latif.. Ya Latif..

Peluk dan jangan tinggalkan kami.

Komentar

Postingan Populer